KRESID

Ancaman Siber, Musuh Digital yang Nyata

  • Home
  • News
  • Ancaman Siber, Musuh Digital yang Nyata

Ancaman Siber, Musuh Digital Yang Nyata

10 Ancaman Siber Terbesar yang Harus diwaspadai di Tahun 2025

 

Di era digital yang terus berkembang ini, ancaman siber menjadi salah satu risiko terbesar yang dihadapi individu, organisasi, hingga pemerintah. Kemajuan teknologi telah membawa banyak manfaat, namun juga membuka peluang berbagai tindak kejahatan untuk melancarkan serangan dengan metode yang semakin canggih dan sulit dideteksi.

Tahun 2025 diperkirakan akan menjadi tahun yang penuh tantangan dalam keamanan siber, mengingat perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan / AI (Artificial Intelligence), Internet of Things (IoT), dan layanan cloud yang semakin pesat.

Ancaman siber kini tidak lagi terbatas pada pencurian data pribadi, tetapi telah berkembang menjadi serangan yang dapat melumpuhkan infrastruktur kritis, mencuri identitas, hingga menimbulkan kerugian ekonomi dalam skala besar. Penjahat siber kini memanfaatkan teknologi terbaru untuk menyempurnakan serangan, seperti penggunaan AI untuk menyamarkan Phishing atau menciptakan Deepfake yang tampak meyakinkan.

Selain itu, adopsi perangkat IoT yang cepat sering kali tidak disertai dengan pengamanan yang memadai, sehingga menimbulkan banyak celah dan menjadikannya target empuk bagi serangan.

Tidak hanya individu, perusahaan besar hingga pemerintah juga menjadi target utama. Serangan seperti Ransomware yang menyandera data penting atau serangan rantai pasok (Supply Chain Attacks) yang menyusup melalui mitra bisnis, menjadi contoh nyata bagaimana ancaman siber mampu melumpuhkan sistem besar. Hal ini menjadikan keamanan siber sebagai prioritas utama untuk melindungi data, menjaga kelangsungan bisnis, dan memastikan keamanan nasional.

Berikut ini adalah 10 (sepuluh) daftar ancaman serangan siber yang berbahaya dan harus diwaspadai pada tahun 2025 ini.

 

  1. Phishing

Phishing adalah serangan siber di mana penyerang mencoba menipu korban untuk memberikan informasi sensitif seperti username, password, atau data kartu kredit, biasanya melalui email, pesan teks, atau situs palsu.

Penyerang mengirimkan pesan yang tampak resmi (seperti dari bank atau perusahaan) yang meminta korban untuk mengklik tautan atau mengunduh file. Jika korban mengikuti instruksi, informasi mereka dapat dicuri. Namun seiring dengan perkembangan era digital, praktik Phishing sudah memanfaatkan teknologi AI seperti Deepfake dan Deep Voice dengan tujuan untuk penyamaran. Selain itu bisa menargetkan individu ataupun organisasi secara spesifik (Spear Phishing) dan peningkatan skala dengan otomatisasi berbasis AI.

            Selain itu Natural Language Processing (NLP) memainkan peran penting dalam meningkatkan efektivitas serangan Phishing. Dengan NLP, peretas dapat menghasilkan email dan pesan yang lebih alami, meniru gaya komunikasi target, serta menyusun teks yang sulit dibedakan dari komunikasi asli. Selain itu, NLP digunakan untuk menganalisis respons korban dan menyesuaikan taktik serangan secara real-time, meningkatkan peluang keberhasilan pencurian data atau kredensial.

Dengan bantuan AI, serangan Phishing menjadi lebih personal dan sulit dideteksi. AI dapat menganalisis kebiasaan pengguna dan membuat email atau pesan yang sangat meyakinkan untuk mencuri data pribadi atau kredensial.

 

  1. Serangan Deepfake dan Manipulasi AI(Artificial Intelligence)

            Teknologi Deepfake yang semakin canggih membuka peluang besar bagi pelaku kejahatan siber untuk melakukan penipuan, penyebaran disinformasi, dan pencemaran nama baik. Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, Deepfake mampu menciptakan video, gambar, dan audio yang hampir tidak bisa dibedakan dari aslinya. Hal ini membuat penipu dapat berpura-pura menjadi tokoh terkenal, eksekutif perusahaan, atau bahkan anggota keluarga korban untuk melakukan aksi kriminal, seperti pencurian identitas atau penipuan berbasis rekayasa sosial. Selain itu, Deepfake juga digunakan dalam kampanye disinformasi untuk menyebarkan berita palsu yang dapat mempengaruhi opini publik, politik, dan keamanan nasional.

Dengan semakin realistisnya Deepfake, masyarakat dan perusahaan perlu meningkatkan kewaspadaan serta mengadopsi teknologi deteksi Deepfake untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan. Deepfake semakin realistis dan dapat digunakan untuk menyebarkan disinformasi, menipu individu, atau bahkan merusak reputasi seseorang atau perusahaan.

 

  1. Ransomware

          Ransomware telah berkembang menjadi salah satu ancaman siber yang paling merugikan dalam beberapa tahun terakhir. Di tahun 2025, serangan ini diperkirakan akan menjadi lebih kompleks dan berbahaya. Para peretas kini menggunakan teknik enkripsi yang lebih kuat, membuat korban hampir tidak mungkin memulihkan data tanpa membayar tebusan. Selain itu, strategi pemerasan juga semakin agresif. Tidak hanya mengenkripsi data korban, tetapi juga mengancam untuk membocorkan atau menjual informasi sensitif jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

Teknologi kecerdasan buatan (AI) juga mulai dimanfaatkan oleh kelompok peretas untuk menyebarkan Ransomware secara otomatis dan menargetkan korban dengan lebih tepat. Mereka dapat menganalisis kelemahan dalam sistem keamanan perusahaan dan menyerang saat sistem dalam keadaan paling rentan. Bahkan, beberapa varian Ransomware kini menggabungkan fitur Worm, yang memungkinkan penyebaran cepat di seluruh jaringan tanpa campur tangan manusia.

Salah satu tren baru yang mengkhawatirkan adalah penggunaan “Double Extortion” dan “Triple Extortion“. Dalam Double Extortion, selain mengenkripsi data, peretas juga mencuri informasi sensitif dan mengancam untuk menyebarkannya jika korban menolak membayar. Sementara dalam Triple Extortion, selain mengenkripsi dan membocorkan data, para peretas juga menekan pihak ketiga seperti mitra bisnis atau pelanggan korban untuk membayar agar informasi mereka tidak ikut terkena dampaknya.

Untuk mengatasi ancaman Ransomware yang semakin canggih ini, organisasi dan individu harus mengadopsi pendekatan keamanan yang lebih kuat. Ini termasuk memperbarui sistem secara rutin, menerapkan pencadangan data yang aman, menggunakan autentikasi multi-faktor, serta melatih karyawan dalam mendeteksi taktik Phishing yang sering digunakan untuk menyebarkan Ransomware.

 

  1. Eksploitasi Kelemahan IoT (Internet of Thing)

            Perangkat Internet of Things (IoT) yang terhubung ke internet semakin banyak digunakan, selain memberikan manfaat dan efisiensi, risiko keamanan sibernya juga semakin besar. Banyak perangkat IoT, seperti kamera keamanan, perangkat rumah pintar, dan alat kesehatan, sering kali memiliki sistem keamanan yang lemah atau tidak diperbarui secara rutin, menjadikannya target empuk bagi para peretas.

Perangkat yang rentan dapat dieksploitasi untuk berbagai tujuan, termasuk pencurian data pribadi, pemantauan tanpa izin, atau bahkan dijadikan bagian dari botnet untuk meluncurkan serangan DDoS (Distributed Denial of Service) secara massal. Selain itu, eksploitasi kelemahan dalam IoT juga dapat mengancam sektor industri dan infrastruktur kritis, di mana perangkat yang digunakan untuk mengontrol sistem otomatisasi atau jaringan listrik dapat diretas untuk menyebabkan gangguan operasional atau sabotase.

Untuk mengurangi risiko ini, diperlukan langkah-langkah keamanan seperti enkripsi data, otentikasi yang kuat, serta pembaruan perangkat lunak yang rutin guna memastikan perlindungan terhadap serangan siber yang memanfaatkan celah dalam ekosistem IoT. Dengan semakin banyaknya perangkat IoT yang terhubung ke internet, peretas dapat mengeksploitasi kelemahan keamanan pada perangkat rumah pintar, kamera keamanan, hingga kendaraan otonom.

 

  1. Serangan Zero Day

            Serangan Zero-Day terjadi ketika peretas mengeksploitasi celah keamanan dalam perangkat lunak yang belum diketahui oleh pengembang atau belum memiliki patch perbaikan. Karena kerentanannya belum teridentifikasi secara publik, serangan ini sangat berbahaya dan sulit dicegah.

Di tahun 2025, serangan Zero-Day diperkirakan akan semakin sering terjadi karena meningkatnya kompleksitas perangkat lunak serta semakin luasnya adopsi teknologi digital dalam berbagai sektor, termasuk pemerintahan, keuangan, dan kesehatan.

Biasanya peretas menggunakan serangan Zero-Day untuk berbagai tujuan; mulai dari pencurian data sensitif, spionase siber, hingga sabotase sistem penting.

Dengan berkembangnya pasar gelap di Dark Web, eksploitasi Zero-Day semakin mudah diperjualbelikan, memungkinkan pelaku kejahatan siber untuk mendapatkan alat serangan yang lebih canggih dengan cepat.

Untuk mengatasi ancaman ini, perusahaan dan organisasi harus menerapkan strategi pertahanan yang lebih proaktif, seperti melakukan pemantauan ancaman secara real-time, menerapkan sistem deteksi intrusi, serta memperbarui perangkat lunak dan Firmware sesegera mungkin setelah patch tersedia. Selain itu, penggunaan teknologi berbasis kecerdasan buatan untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan sebelum serangan Zero-Day terjadi juga menjadi langkah penting dalam meningkatkan keamanan siber. Kerentanan perangkat lunak yang belum diketahui oleh pengembang (Zero-Day Vulnerabilities) semakin menjadi target utama peretas. Serangan ini sulit dicegah karena belum ada patch atau solusi resmi saat pertama kali dieksploitasi.

 

 

 

 

 

 

  1. Serangan Supply Chain

            Serangan ini terjadi ketika peretas menargetkan pihak ketiga dalam ekosistem bisnis, seperti vendor, pemasok perangkat lunak atau penyedia layanan TI, untuk mendapatkan akses ke sistem organisasi yang lebih besar. Dalam beberapa tahun terakhir, metode ini semakin sering digunakan karena banyak perusahaan bergantung pada layanan eksternal yang memiliki akses luas terhadap data dan infrastruktur internal.

Peretas biasanya mengeksploitasi kelemahan dalam perangkat lunak atau layanan yang digunakan oleh berbagai perusahaan. Salah satu taktik umum adalah menyisipkan kode berbahaya ke dalam pembaruan perangkat lunak sebelum didistribusikan ke pengguna, yang memungkinkan mereka menginfeksi banyak organisasi dalam satu serangan.

Contoh yang terkenal dari serangan supply chain adalah insiden SolarWinds, dimana pembaruan perangkat lunak yang terinfeksi memungkinkan peretas mengakses jaringan pemerintahan dan perusahaan di seluruh dunia.

Selain perangkat lunak, perangkat keras yang terinfeksi juga menjadi ancaman serius. Komponen elektronik atau perangkat IoT yang telah diretas dapat disusupi dengan backdoor atau malware sebelum dipasarkan, membuka celah bagi serangan siber setelah produk digunakan oleh organisasi target.

Untuk menghadapi ancaman ini, perusahaan harus meningkatkan transparansi dan keamanan dalam rantai pasokan mereka dengan menerapkan kontrol keamanan ketat terhadap vendor dan mitra bisnis. Langkah-langkah mitigasi termasuk melakukan audit keamanan secara berkala, menggunakan pendekatan Zero-Trust untuk membatasi akses terhadap data penting, serta memastikan semua pembaruan perangkat lunak berasal dari sumber yang terpercaya. Selain itu, penerapan sistem pemantauan ancaman berbasis AI dapat membantu mendeteksi anomali dalam aktivitas rantai pasokan sebelum serangan berdampak luas. Para peretas mulai menargetkan vendor atau mitra bisnis dalam rantai pasokan perusahaan besar untuk mendapatkan akses ke sistem yang lebih luas dan mencuri data berharga.

 

  1. Serangan Berbasis Cloud

            Dengan meningkatnya adopsi layanan cloud di berbagai sektor, serangan siber berbasis cloud menjadi ancaman yang semakin signifikan. Peretas menargetkan infrastruktur cloud untuk mencuri data, mengganggu layanan, atau mengeksploitasi kelemahan konfigurasi yang sering kali muncul akibat kesalahan pengguna atau kelalaian keamanan. Serangan ini dapat berbentuk pencurian kredensial akses cloud, eksploitasi API (Application Programming Interface) yang tidak aman, atau serangan DDoS (Distributed Denial-of-Service) yang bertujuan melumpuhkan layanan cloud. Selain itu, serangan Ransomware juga mulai mengincar penyimpanan cloud dengan mengenkripsi data pengguna dan menuntut tebusan untuk pemulihannya.

Salah satu tantangan utama dalam keamanan cloud adalah model tanggung jawab bersama antara penyedia layanan dan pengguna. Banyak organisasi yang menganggap penyedia cloud sepenuhnya bertanggung jawab atas keamanan, padahal pengguna juga memiliki kewajiban untuk mengamankan data dan akses mereka. Kesalahan konfigurasi, seperti pengaturan izin yang terlalu luas atau penyimpanan data yang tidak terenkripsi, sering kali menjadi pintu masuk bagi peretas untuk mengeksploitasi sistem.

Untuk menghadapi ancaman ini, perusahaan harus menerapkan strategi keamanan yang komprehensif, termasuk autentikasi multi-faktor / MFA (Multi Factor Authentication), enkripsi data, serta pemantauan aktivitas cloud secara real-time untuk mendeteksi anomali. Selain itu, audit keamanan berkala dan kepatuhan terhadap standar keamanan seperti ISO/IEC 27001:2022 atau NIST (National Institute of Standards and Technology) dapat membantu mengurangi risiko serangan berbasis cloud dan memastikan perlindungan data yang lebih optimal. Migrasi besar-besaran ke layanan cloud membawa risiko baru, dimana kelemahan dalam konfigurasi atau kebocoran kredensial dapat menyebabkan pelanggaran data besar-besaran.

 

  1. Ancaman Terhadap Infrastruktur Kritis

Sektor-sektor vital seperti energi, transportasi, kesehatan, air, dan layanan keuangan tidak lepas dari ancaman serangan siber. Peretas, menargetkan sistem ini untuk mengganggu layanan publik, mencuri data sensitif, atau bahkan melakukan sabotase. Serangan seperti Ransomware yang menyandera sistem pengendalian industri / ICS (Industrial Control System) atau serangan DDos (Distributed Denial-of-Service) yang melumpuhkan jaringan transportasi dapat menyebabkan dampak yang luas, termasuk gangguan operasional, kerugian ekonomi, dan bahkan risiko terhadap keselamatan manusia.

Ancaman ini semakin besar karena infrastruktur kritis sering kali menggunakan teknologi lama yang belum sepenuhnya diperbarui atau tidak memiliki perlindungan keamanan yang memadai. Selain itu, meningkatnya konektivitas antar sistem melalui IoT (Internet of Thing) juga membuka celah bagi serangan siber yang lebih kompleks.

Peretas dapat mengeksploitasi kelemahan dalam sistem yang kurang diamankan untuk mendapatkan akses, mengendalikan operasi penting, atau menciptakan gangguan besar.

Untuk melindungi infrastruktur kritis dari serangan siber, diperlukan pendekatan keamanan yang ketat dan berlapis, termasuk peningkatan sistem keamanan siber, pemantauan ancaman secara real-time, serta pelatihan bagi personel yang bertanggung jawab terhadap sistem tersebut. Selain itu, kerja sama antara sektor publik dan swasta sangat penting dalam membangun strategi mitigasi yang efektif, berbagi intelijen ancaman, serta memastikan bahwa kebijakan keamanan terus diperbarui sesuai dengan ancaman yang berkembang. Sektor-sektor penting seperti energi, kesehatan, dan keuangan semakin menjadi sasaran serangan siber yang dapat mengganggu layanan vital suatu negara.

 

  1. Pencurian Data Pribadi

Pencurian identitas digital menjadi ancaman yang semakin serius di era modern, dimana semakin banyak data pribadi disimpan dan diproses secara online.

Para peretas menggunakan berbagai teknik seperti Phishing, Malware dan serangan rekayasa sosial untuk mencuri informasi sensitif, termasuk kredensial login, nomor kartu kredit, dan data pribadi lainnya. Data yang dicuri kemudian dapat digunakan untuk berbagai aktivitas ilegal, seperti penipuan keuangan, pencurian rekening bank, atau bahkan penyamaran identitas untuk melakukan tindakan kriminal lebih lanjut.

Perkembangan teknologi Deepfake dan kecerdasan buatan juga semakin membuat rumit ancaman ini, memungkinkan pelaku untuk membuat dokumen palsu yang lebih meyakinkan atau meniru suara dan wajah korban untuk menipu layanan keuangan dan organisasi lainnya. Selain itu, kebocoran data dari perusahaan besar yang sering terjadi menambah risiko penyalahgunaan informasi pribadi dalam skala luas.

Untuk melindungi diri dari pencurian identitas digital, individu dan organisasi harus menerapkan praktik keamanan siber yang kuat, seperti penggunaan autentikasi multi-faktor, pembaruan kata sandi secara berkala, serta kewaspadaan terhadap email atau pesan mencurigakan.

Selain itu, enkripsi data dan pemantauan aktivitas yang mencurigakan juga dapat membantu mengurangi risiko serta mendeteksi ancaman sejak dini sebelum menimbulkan kerugian yang lebih besar. Data pribadi menjadi lebih rentan terhadap pencurian dan penyalahgunaan. Dengan semakin banyaknya data pribadi yang disimpan secara digital, kejahatan seperti pencurian identitas dan penipuan keuangan semakin meningkat.

 

  1. Cyberwarfare dan Serangan Negara

Cyberwarfare atau peperangan siber menjadi ancaman global yang semakin nyata, dimana negara-negara menggunakan serangan siber sebagai alat untuk melemahkan infrastruktur, mencuri data strategis dan mengganggu stabilitas geopolitik.

Aktor negara sering kali meluncurkan serangan siber yang kompleks terhadap pemerintahan, perusahaan teknologi, serta infrastruktur kritis seperti jaringan listrik, komunikasi, dan sistem keuangan. Serangan ini tidak hanya bertujuan untuk merusak atau mencuri informasi, tetapi juga untuk menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi pada negara target.

Beberapa teknik yang umum digunakan dalam Cyberwarfare meliputi Advanced Persistent Threats (APT), di mana peretas yang didukung negara menyusup ke sistem dalam jangka waktu yang lama untuk mencuri informasi sensitif tanpa terdeteksi.

Selain itu, serangan Distributed Denial-of-Service (DDoS) juga sering digunakan untuk melumpuhkan layanan pemerintahan atau perusahaan besar. Serangan berbasis disinformasi yang menggunakan media sosial dan Deepfake juga menjadi alat ampuh dalam memanipulasi opini publik dan menciptakan kekacauan politik.

Untuk menghadapi ancaman Cyberwarfare, negara dan organisasi perlu mengadopsi strategi keamanan siber yang kuat, termasuk peningkatan intelijen siber, kerja sama internasional dalam berbagi informasi ancaman, serta penguatan regulasi dan kebijakan keamanan digital. Selain itu, pelatihan dan kesadaran terhadap taktik perang siber juga menjadi langkah penting dalam membangun ketahanan terhadap serangan yang semakin kompleks ini. Di banyak negara, menggunakan serangan siber sebagai senjata geopolitik untuk mencuri informasi sensitif, mengganggu sistem pemerintahan, atau melumpuhkan infrastruktur penting lawan.

Dengan meningkatnya ancaman-ancaman ini, penting bagi individu dan organisasi untuk lebih waspada dan memperkuat keamanan digital mereka. Menggunakan autentikasi dua faktor, memperbarui perangkat lunak secara berkala, dan meningkatkan kesadaran akan ancaman siber adalah beberapa langkah yang dapat membantu mengurangi risiko.

 

Kesmipulan

Dalam menghadapi ancaman ancaman siber di atas, diperlukan kesadaran yang lebih tinggi akan pentingnya keamanan siber serta penerapan langkah-langkah pencegahan yang tepat. Penggunaan teknologi keamanan seperti autentikasi multi-faktor, enkripsi data, serta pemantauan ancaman secara real-time menjadi kunci dalam melindungi sistem dari serangan. Selain itu, kerja sama antara sektor publik dan swasta dalam berbagi informasi ancaman dan mengembangkan strategi mitigasi juga sangat diperlukan.

Pada akhirnya, ancaman siber adalah musuh yang nyata dan terus berkembang, sehingga kesiapan dan kewaspadaan menjadi faktor utama dalam menjaga keamanan di dunia digital. Dengan memahami dan mengantisipasi risiko yang ada, kita dapat membangun ekosistem digital yang lebih aman dan tangguh terhadap berbagai ancaman yang mungkin muncul.

 

Referensi :

  1. Anderson, R. (2023). Cyber Security: Threats and Solutions. New York: TechPress.
  2. Smith, J. (2024). The Future of Cyber Threats: Emerging Trends. London: CyberWorld Publications.
  3. National Cyber Security Centre. (2024). Cyber Threats in 2025: An Analysis. Retrieved from https://www.ncsc.gov.uk
  4. Mitnick, K. (2023). The Art of Invisibility: Staying Safe in the Age of Cyber Warfare. San Francisco: DigitalFortress.
  5. https://www.cisa.gov

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *